Selasa, 09 November 2010



Menjadi besar tanpa penderitaan sekaligus cacian orang, itulah kemauan banyak sekali anak muda. Dan kalau memang kehidupan seperti itu ada, tentu ada terlalu banyak manusia yang juga menginginkannya. Sayangnya wajah kehidupan seperti ini tidak pernah ada. Sehingga jadilah cita-cita menjadi besar tanpa penderitaan hanya sebagai khayalan manusia malas yang tidak pernah mencoba.
Kisah-kisah manusia kuat dan terhormat hampir semuanya berisi kisah-kisah penuh cacian sekaligus penderitaan. Sebutlah deretan nama-nama mengagumkan seperti Nelson Mandela, Mahatma Gandhi sampai dengan Dalai Lama. Semuanya dibikin kuat sekaligus terhormat oleh penderitaan.
Mandela menjadi kuat dan terhormat karena puluhan tahun dipenjara, disakiti serta diasingkan. Sekarang, ia tidak saja dihormati dan disegani namun juga menjadi modal demokrasi yang mengagumkan bagi Afrika Selatan.
Gandhi besar dan menjulang karena terketuk amat dalam hatinya oleh kesedihan akibat diskriminasi dan penjajahan. Dan yang lebih mengagumkan, tatkala perjuangannya berhasil, ia menolak memetik buah kekuasaan dari hasil perjuangannya yang panjang, lama sekaligus mengancam nyawa.
Dalai Lama apa lagi. Di umur belasan tahun kehilangan kebebasan. Menginjak umur dua puluhan tahun kehilangan negara. Dan sampai sekarang sudah hidup di pengungsian selama tidak kurang dari empat puluh lima tahun. Setiap hari menerima surat sekaligus berita menyedihkan tentang Tibet. Lebih dari itu, negaranya Tibet sampai sekarang kehilangan banyak sekali hal akibat masuknya pemerintah China. Namun sebagaimana sudah dicatat rapi oleh sejarah, daftar-daftar kesedihan Dalai Lama ini sudah berbuah teramat banyak. Menerima hadiah nobel perdamaian di tahun 1989. Setiap kali berkunjung ke negara-negara maju disambut lebih meriah dari penyanyi rock yang terkenal. Karya-karyanya mengubah kehidupan demikian banyak orang. Sampai dengan julukan banyak sekali pengagumnya yang menyimpulkan kalau Dalai Lama hanyalah seorang living Buddha.
Hal serupa juga terjadi dengan tokoh wanita mengagumkan bernama Evita Peron. Belum berumur sepuluh tahun keluarganya berantakan karena ayahnya meninggal. Kemudian menyambung kehidupan dengan cara menjadi pembantu rumah tangga. Bosan jadi pembantu kemudian menjadi penyanyi bar. Dan bahkan sempat diisukan miring dalam dunia serba gemerlap ini. Pernikahannya dengan Juan Peron tidak mengakhiri penderitaan, malah menambah panjangnya aliran sungai air mata. Namun kehidupan Evita Peron demikian bercahaya. Tidak saja di Argentina ia bercahaya, di dunia ia juga bercahaya.
Salah satu guru meditasi mengagumkan di Amerika bernama Pema Chodron. Tidak saja bahasanya sederhana, pengungkapan idenya juga mendalam. Namun kekaguman seperti ini juga berawal dari kesedihan mendalam. Sebagaimana yang ia tuturkan dalam When Things Fall Apart, perjalanan kejernihan Pema Chodron mulai dengan sebuah kesedihan yang tidak terduga: suaminya mengaku jatuh cinta pada wanita lain dan minta segera cerai. Bagi seorang wanita setia, tentu saja ini seperti petir di siang bolong. Namun betapa menyakitkan pun beritanya, hidup harus tetap berjalan.
Dari sinilah ia belajar meditasi dari Chogyam Trungpa. Dan ini juga yang membukakan pintu kehidupan yang mengagumkan belakangan. Sehingga di salah satu bagian buku tadi, Chodron secara jujur mengungkapkan kalau mantan suaminya yang di awal seperti mencampakkan hidupnya, ternyata seorang pembuka pintu kehidupan yang mengagumkan.
Cerita Thich Nhat Hanh lain lagi. Tokoh perdamaian asli Vietnam ini mengalami banyak sekali pengalaman getir ketika perang Vietnam. Kalau soal hampir mati, atau hampir diterjang peluru panas sudah biasa. Namun tatkala membawa misi perdamaian ke Amerika, ternyata pemerintah Vietnam melarangnya kembali ke Vietnam. Dan sejak puluhan tahun yang lalu Thich Nhat Hanh bermukim di Prancis. Dan penderitaan serta kesedihan-kesedihan yang mendalam ini juga yang membuat nama Hanh demikian dikenal dan menjulang. Pernah dinominasikan sebagai pemenang hadiah Nobel perdamaian, dihormati di banyak sekali negara, dan karya-karyanya lebih dari sekadar mengagumkan.
Daftar panjang tokoh-tokoh kuat sekaligus terhormat, yang dibuat besar oleh penderitaan dan cacian orang masih bisa diperpanjang. Namun semua ini sedang membukakan pintu kehidupan yang amat berguna: penderitaan dan cacian orang ternyata sejenis vitamin jiwa yang membuatnya jadi menyala. Ini mirip sekali dengan judul sebuah buku indah yang berbunyi: Pain, the Gift that Nobody Want. Rasa sakit, penderitaan, cacian orang hampir semua manusia tidak menghendakinya. Tidak saja lari jauh-jauh, bahkan sebagian lebih doa manusia memohon agar dijauhkan dari penderitaan, cacian sekaligus rasa sakit.
Ternyata, penderitaan dan cacian orang bisa menjadi bahan-bahan yang memproduksi kekaguman orang kemudian. Persoalannya kemudian, “Di tengah-tengah sebagian lebih wajah kehidupan yang serba instant, punyakah kita cukup banyak kesabaran dan ketabahan ?”.
(Compiled by Zidna Humaam Kurnia).

"26" Angka Keramat....??


“26” ANGKA KERAMAT….??
Berbagai macam bencana alam yang terjadi di Indonesia adalah merupakan salah satu tanda-tanda kekuasaan Allah SWT, tapi mungkin juga itu merupakan sebuah cobaan, peringatan dan bahkan adzab tergantung manusia itu sendiri menyikapi hal tersebut.
Bagi orang mukmin yang senantiasa taat dan patuh terhadap perintah Allah SWT mungkin menyikapi bencana alam yang terjadi sebagai ujian/ cobaan dari Allah SWT dan hal tersebut dijadikannya “muhasabah an-nafs” sebuah perenungan bahwasannya fenomena bencana alam yang terjadi adalah sebagai salah satu tanda-tanda kekuasaan Allah SWT. Dan juga merupakan sebuah peringatan bagi mereka seperti halnya orang-orang munafik yang mungkin mereka beriman namun tidak sepenuh hati, yang masih banyak melalaikan dan meninggalkan kewajibannya, yakni terkadang ia melaksanakan perintah Allah dan diwaktu lain ia melanggar perintah-perintah-Nya dengan kata lain yang lebih dikenal dengan istilah “STMJ” (Shalat Terus Maksiat Jalan). Dan tidak mustahil fenomena bencana alam yang terjadi ini juga merupakan bentuk adzab dari Allah SWT yang ditujukan kepada mereka yang senantiasa berpaling dan menafikan segala perintah-perintah-Nya. Bila kita melihat disekeliling kita, banyak orang yang bangga akan maksiat yang dilakukannya baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, norma-norma agama dilanggar, moral dan akhlak tidak diperdulikan, nilai-nilai kemanusiaan diabaikan dan kedzaliman dimana-mana, yang dirasa cukup hal ini merupakan sebagai sebab-akibat munculnya adzab dari Allah SWT.
Ada hal yang menarik untuk dicermati, ketika kita melihat tanggal kejadian fenomena berbagai bencana alam yang terjadi, yakni; pada tanggal 26 Desember 2004 terjadi tsunami di Aceh, 26 Mei 2006 Gempa di Jogja, 26 Juni 2009 gempa di Tasikmalaya, 26 Oktober 2010 tsunami di Mentawai Sumatra, 26 Oktober 2010 gunung merapi meletus di Jogja. Sebenarnya ada apa dengan tanggal “26”?? bila kita merujuk pada mushaf Al-Qur’an khususnya pada surat ke-26 (Asy-Syu’ara), ternyata didalamnya tentang adzab Allah, yang dimana didalamnya menceritakan berbagai kisah orang-orang/ kaum durhaka yang berpaling dari Allah SWT yang menyebabkan datangnya adzab Allah. berbagai kisah didalamnya; Fir’aun yang mengku dirinya sebagai Tuhan yang kemudian ditenggelamkan oleh Allah di laut merah, kemudian adzab Allah terhadap kaum nabi Ibrohim yang menyembah patung-patung berhala, kemudian kaum Nabi Nuh yang tidak taat dan mendustakan perintah Allah SWT termasuk anak dan istrinya yang kemudian Allah mendatangkan adzab banjir bandang yang melenyapkan kaum durhaka tersebut, kemudian kaum ‘Ad yang mendustakan rasulnya (Nabi Hud) yang kemudian Allah membinasakannya, kaum Tsamud yang mendustakan Nabi Shaleh, kaum Luth (kaum Sodom) yang mendustakan Nabi Luth dan berlaku menyimpang (homoseks) yang kemudian Allah membinasakan mereka dengan hujan batu yang begitu dahsyat, kemudian penduduk Aikah yaitu kaum Nabi Syu’aib yang mendustakan rasulnya berbuat sesuatu yang merugikan orang dengan cara mengurangi takaran timbangan kemudian Allah timpakan adzab pada hari yang gelap, sungguh itulah adzab pada hari yang dahsyat.
Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak beriman (QS. Asy-Syu’ara:190). Adalah hal yang tidak mustahil bagi Allah ketika ia berkehendak “jadilah, maka terjadilah”, ia yang maha kuasa dan maha agung, tidak ada sesuatupun yang serupa dengannya. Wallahu a’lam bishoab.

Minggu, 07 November 2010



MASALAH
Kalau Anda Punya Masalah, Berbahagialah!
Mungkin sebagian dari kita bertanya-tanya, ''Bukankah akan lebih bahagia kalau kita sama sekali tak punya masalah?''.
Kalau pemikiran kita masih demikian, berarti kita salah besar !
Di mana ada kehidupan, di situ pasti ada permasalahan. Tapi, jangan pernah khawatir karena di balik setiap masalah terkandung suatu peluang emas dan kesempatan yang besar untuk maju ?
Ada kata-kata bijak dari Norman V Peale yang patut kita renungkan. Dalam bukunya You Can If You Think You Can, ia mengatakan, ''Apabila Tuhan ingin menghadiahkan sesuatu yang berharga, bagaimanakah Ia memberikannya pada kita ? Apakah Ia menyampaikan dalam bentuk suatu kiriman yang indah dalam nampan perak ?
Tidak!
Sebaliknya Tuhan membungkusnya dalam suatu masalah yang pelik, lalu melihat dari jauh apakah kita sanggup membuka bungkusan yang ruwet itu, dan menemukan isinya yang sangat berharga, bagaikan sebutir mutiara yang mahal harganya yang tersembunyi dalam kulit kerang.''
Pernyataan di atas bukan sekadar kata-kata indah untuk menghibur kita yang sedang kalut menghadapi suatu masalah. Ini adalah perubahan paradigma dan cara berpikir. Keadaan apa pun yang kita hadapi sebenarnya bersifat netral. Kitalah yang memberikan label positif atau negatif terhadapnya.
Seperti yang dikatakan filsuf Cina, I Ching, ''Peristiwanya sendiri tidak penting, tapi respons terhadap peristiwa itu adalah segala-galanya.''
Semua kesulitan sesungguhnya merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh. Sayang, lebih banyak orang yang menganggap masalah sebagai sesuatu yang harus dihindari. Mereka tak mampu melihat betapa mahalnya mutiara yang terkandung dalam setiap masalah.
Ibarat mendaki gunung, ada orang yang bertipe Quitters. Mereka mundur teratur dan menolak kesempatan yang diberikan oleh gunung.
Ada orang yang bertipe Campers, yang mendaki sampai ketinggian tertentu kemudian mengakhiri pendakiannya dan mencari tempat yang datar dan nyaman untuk berkemah. Mereka hanya mencapai sedikit kesuksesan tapi sudah merasa puas dengan hal itu.
Tipe ketiga adalah Climbers yaitu orang yang seumur hidupnya melakukan
pendakian, dan tak pernah membiarkan apapun menghalangi pendakiannya. Orang seperti ini senantiasa melihat hidup ini sebagai ujian dan tantangan. Ia dapat mencapai puncak gunung karena memiliki mentalitas yang jauh lebih tinggi, mengalahkan tingginya gunung. Orang dengan tipe ini benar-benar meyakini semboyan para pendaki gunung, ''Jangan pernah mengukur tinggi sebuah gunung sebelum Anda mencapai puncaknya. Karena begitu ada di puncak, Anda akan melihat betapa rendahnya gunung itu.''
Semua masalah sebenarnya adalah rahmat terselubung bagi kita. Mereka ’berjasa’ karena dapat membuat kita lebih baik, lebih arif, lebih bijaksana, dan lebih sabar.
Untuk mencapai kesuksesan, kita perlu memiliki adversity quotient, yaitu
kecerdasan dan daya tahan yang tinggi untuk menghadapi masalah. Kecerdasan tersebut dimulai dari mengubah pola pikir dan paradigma kita sendiri. Mulailah melihat semua masalah yang kita hadapi sebagai peluang, kesempatan, dan rahmat. Kita akan merasa tertantang, namun tetap mampu menjalani hidup yang tenang dan damai.
Berbahagialah jika kita memiliki masalah. Itu artinya kita sedang hidup dan berkembang. Justru bila kita tak punya masalah sama sekali, mustinya kita segera berdoa, ''Ya Tuhan. Apakah Kau tak percaya lagi padaku, sehingga Kau tak mempercayakan satu pun kesulitan hidup untuk saya atasi ?'' Dengan berdoa demikian kita tak perlu khawatir. Tuhan amat mengetahui kemampuan kita masing-masing. Ia tak akan pernah memberikan suatu beban yang kita tak sanggup memikulnya.
(Compiled by Zidna Humaam Kurnia).

Jumat, 05 November 2010

Peduli




Setiap kali Winda memperhatikan rekan kerjanya yang baru dua bulan bekerja, Sofi, dia merasa heran. Meskipun masih baru, tapi Sofi ramah. Dalam waktu singkat, Sofi sudah mengenal semua orang. Dia hapal nama 12 satpam. Winda sendiri tidak hapal semua, paling banyak hanya enam nama yang dia ingat. Tapi Sofi lain, setiap pagi, begitu sampai di kantor, dia selalu menyapa para satpam sambil menyebut nama mereka dengan akrab. Bahkan Sofi tahu kalau ada yang istrinya sedang sakit, atau yang anaknya baru masuk sekolah dasar, atau yang baru kembali dari berlibur ke kampung halamannya di Lumajang karena menengok neneknya.
Winda semakin tertarik untuk mengamati Sofi. Bagi Winda, yang sudah tiga tahun bekerja, belum pernah ada karyawan yang seperti Sofi. Suatu pagi, Sofi baru saja tiba di kantor ketika kebetulan berpapasan dengan Rusdi, Presiden Direktur, yang juga baru tiba. Dengan sopan Sofi tersenyum dan mengucapkan selamat pagi. Kebetulan Winda sedang berada di dekat mereka. Pak Rusdi juga tersenyum dan menjawab selamat pagi. Sofi langsung bertanya apakah kaki beliau yang terkilir minggu lalu sudah membaik. Sambil tertawa pak Rusdi menjawab bahwa kakinya sudah sembuh, tapi masih belum bisa untuk main bola. Winda ikut tertawa mendengar jawaban beliau. Dalam hati kecilnya, dia merasa malu sendiri.
Dia sendiri sudah lupa bahwa pak Rusdi minggu lalu terkilir kakinya. Tapi ternyata Sofi masih ingat. Malah, Sofi berani bertanya mengenai kondisi kaki beliau. Winda merasa, seandainya dia ingat pun, belum tentu dia berani menanyakan hal itu secara langsung.
Minggu lalu Sofi terpeleset ketika turun dari kendaraan umum. Terkilir sih tidak, hanya lecet sedikit tergores aspal. Sesampainya di kantor semua orang menanyakan kakinya yang tampak kecoklatan karena diberi obat antiseptik. Mendengar cerita Sofi, semua orang menunjukkan perasaan kesal kepada sopir kendaraan umum itu karena sudah langsung jalan ketika Sofi sedang turun, akibatnya dia terpeleset. Para satpam menunjukkan rasa prihatin terhadap kecelakaan yang dialami Sofi. Bahkan, waktu kembali dari makan siang dan berpapasan dengan Pak Rusdi, beliaupun menanyakan kaki Sofi.
Dari sini, Winda bisa melihat dan merasakan bahwa semua orang menjadi akrab dan memberikan perhatian kepada Sofi, karena Sofi terlebih dahulu memberikan perhatian yang tulus kepada orang lain. Sofi tidak mencari muka. Pertanyaan Sofi mengenai anak satpam yang sakit sama tulusnya dengan pertanyaannya mengenai kaki pak Rusdi yang terkilir. Sofi membuat semua orang merasa penting.
Suatu hari Winda sengaja mendatangi Sofi untuk bercakap-cakap. Winda menanyakan pada Sofi mengapa dia bisa mengingat semua nama karyawan lainnya. Mengapa Sofi bisa mengingat keadaan keluarga mereka, siapa yang istrinya sakit, siapa yang anaknya baru disunat, siapa yang sudah tidak masuk kerja dua hari, dan sebagainya. Sofi sendiri bingung ketika ditanya begitu. Selama ini Sofi hanya bertindak spontan. Tanpa disadarinya dia membuat semua orang merasa diri mereka penting. Sofi merasa tidak pernah dengan sengaja mengingat nama semua orang, atau mengingat keadaan istri dan anak-anak mereka.
Spontan...
Dia mengaku bahwa semua pertanyaannya tentang istri dan anak mereka itu muncul dengan sendirinya pada saat berhadapan dengan orang yang bersangkutan. Seperti ketika berhadapan dengan Pak Rusdi, Sofi secara spontan ingat tentang kaki beliau yang terkilir sehingga dengan spontan juga dia menanyakan hal itu.
Winda melihat bahwa Sofi tidak bohong. Berhari-hari dia mengamati Sofi. Pada saat masuk kantor, saat makan siang, saat bekerja dan saat selesai kerja. Akhirnya Winda menemukan satu kesimpulan yang diyakininya pasti benar. Sofi mudah mengingat nama orang lain karena dia benar-benar memperhatikan mereka secara tulus. Sofi selalu sibuk bekerja, tapi pada saat berkenalan dengan seseorang, Sofi benar-benar mendengarkan siapa nama mereka.
Ketika tanpa sengaja dia mendengar ada yang istrinya sakit, Sofi benar-benar ikut merasa sedih mendengarnya. Sehingga ketika bertemu dengan orang itu, Sofi secara spontan menanyakan istrinya. Bukan sekadar basa-basi. Winda sadar bahwa ternyata sikap Sofi didasari dari hati yang tulus. Tapi Winda penasaran, masak sih dia tidak bisa bersikap seperti Sofi ? Tentu saja dengan caranya sendiri, karena dia ingin bersikap tulus, bukan sekadar meniru Sofi.
Winda mulai membuat buku catatan. Dia mulai dengan mendaftar semua nama karyawan di kantor. Di rumah, dia membaca ulang dan menghapalkannya. Tak terasa, seminggu kemudian dia merasa lebih memperhatikan orang lain.
Karena takut lupa, Winda seringkali menuliskan kejadian-kejadian penting yang dialami orang lain. Tapi, ketika dia merasa telah mulai tumbuh minat untuk lebih mengenal orang lain, maka tanpa sengaja, ternyata memang lebih mudah mengingat hal-hal yang menimpa mereka. Sofi benar. Winda hanya tinggal menumbuhkan minat untuk memperhatikan orang lain, maka keramahan dan perhatian akan timbul dengan sendirinya.
Make friends and know your friends!
(Compiled by Zidna Humaam Kurnia)

pengetahuan

Ombak Besar dan Ombak kesil




Alkisah, di tengah samudra yang maha luas, tampaklah ombak besar sedang bergulung-gulung dengan suaranya yang menggelegar, tampak bersuka ria menikmati kedasyatan kekuatannya, seakan-akan menyatakan keberadaan dirinya  yang besar dan gagah perkasa.
Sementara itu, jauh di belakang gelombang ombak besar, tampak sang ombak kecil bersusah payah mengikuti. Ia terlihat lemah, tertatih-tatih, tak berdaya, dan jauh tersisih di belakang. Akhirnya, ombak kecil hanya bias menyerah dan mengekor ke mana pun ombak besar pergi. Tetapi, di benaknya selalu muncul pertanyaan, mengapa dirinya begitu lebih lemah dan tak berdaya?
Suatu kali, ombak kecil bermaksud mengadu kepada ombak besar. Sambil
tertatih-tatih ombak kecil berteriak: "Hai ombak besar. Tunggu !"
Sayup-sayup suara ombak kecil didengar juga oleh ombak besar. Lalu sang
ombak besar sedikit memperlambat gerakannya dan berputar-putar mendekati arah datangnya suara.
"Ada apa sahabat?" Jawab ombak besar dengan suara menggelegar hebat.
"Hei... pelankan suaramu. Dengarlah, mengapa kau bisa begitu besar? Begitu kuat, gagah dan perkasa? Sementara diriku. Ah... begitu kecil, lemah dan tak berdaya. Apa sesungguhnya yang membuat kita begitu berbeda?"
Ombak besar pun menjawab, "Sahabatku, kamu menganggap dirimu sendiri kecil dan tidak berdaya, sementara kamu menganggap aku begitu hebat dan luar biasa. Anggapanmu itu muncul karena kamu belum sadar dan belum mengerti jati dirimu yang sebenarnya, hakikat dirimu sendiri".
"Jati diri? Hakikat diri? Kalau jati diriku bukan ombak kecil, lalu aku ini apa?" Tanya ombak kecil, "Tolong jelaskan, aku semakin bingung dan tidak mengerti."
Ombak besar meneruskan, "Memang di antara kita terasa berbeda, tapi sebenarnya jati diri kita adalah sama, kamu bukan ombak kecil, akupun juga bukan ombak besar. Ombak besar dan ombak kecil adalah sifat kita yang sementara. Jati diri kita yang sejati sama, kita adalah air. Bila kamu menyadari bahwa kita sama-sama air, maka kamu tidak akan menderita lagi. Kamu adalah air yang setiap waktu kamu bisa menikmati menjadi ombak besar seperti aku, kuat gagah dan perkasa."
Mendengar kata-kata bijak sang ombak besar, mendadak timbul kesadaran dalam diri ombak kecil. "Ya, benar… aku bukan ombak kecil. Jati diriku adalah air, tidak perlu aku berkecil hati dan menderita."
Dan sejak saat itu, si ombak kecil pun menyadari dan menemukan potensi dirinya yang maha dasyat. Dengan ketekunan dan keuletannya, ia berhasil menemukan cara-cara untuk menjadikan dirinya semakin besar, kuat dan perkasa, sebagaimana sahabatnya yang dulu dianggapnya besar.
Akhirnya, mereka hidup bersama dalam keharmonisan alam. Ada kalanya yang satu lebih besar dan yang lain kecil. Kadang yang satu lebih kuat dan yang lain lemah. Begitulah, mereka menikmati siklus kehidupan dengan penuh hikmat dan kesadaran.
Sebagai manusia, sering kali kita terjebak dalam kebimbangan akibat situasi sulit yang kita hadapi, yang sesungguhnya itu hanyalah pernak-pernik atau tahapan dalam perjalanan kehidupan. Sering kali kita memvonis keadaan itu sebagai suratan takdir, lalu muncullah mitos-mitos: aku tidak beruntung, nasibku jelek, aku orang gagal, dan lebih parah lagi menganggap kondisi tersebut sebagai bentuk "ketidakadilan" Tuhan.
Dengan memahami bahwa jati diri kita adalah sama-sama manusia, tidak ada alasan untuk merasa kecil dan kerdil dibandingkan dengan orang lain. Karena sesungguhnya kesuksesan, kesejahteraan dan kebahagiaan bukan monopoli orang-orang tertentu, jika orang lain bisa sukses, kitapun juga bias sukses!
Kesadaran tentang jati diri bila telah mampu kita temukan, maka di dalam diri kita akan timbul daya dorong dan semangat hidup yang penuh gairah sedahsyat ombak besar di samudra nan luas. Siap menghadapi setiap tantangan dengan mental yang optimis aktif, dan siap mengembangkan potensi terbaik demi menapaki puncak tangga kesuksesan.
"Jati diri kita adalah sama-sama manusia ! Tidak ada alasan untuk merasa kecil dan kerdil dibandingkan dengan orang lain. Jika orang lain bisa sukses, kita pun bisa sukses!"
(Compiled by Zidna Humaam Kurnia ).

mahasiswa dan fenomena bencana alam


Aktualisasi Mahasiswa sebagai Agen Perubahan Sosial

Menjelang akhir tahun 2010 ini tepatnya pada bulan oktober, Indonesia tak henti-hentinya diberikan berbagai cobaan. Banyaknya bencana yang melanda bangsa ini; mulai dari meletusnya gunung merapi, tsunami di mentawai Sumatra, dan banjir yang melanda Ibu Kota Jakarta, merupakan dilema problematika bangsa Indonesia.
Disinilah peran mahasiswa sebagai agen perubahan sosial dituntut untuk menjawab realita yang ada. Mahasiswa harus peka dan tanggap melihat disekelilingnya dalam mengaktualisasikan perannya. Idealnya, mahasiswa sebagai intelektual muda harus memberikan sumbangsih yang besar dalam menyikapi berbagai bencana yang ada. Menjadi relawan merupakan pilihan yang tepat untuk memberikan kontribusi yang sesuai dalam mengaktualisasikan peran mahasiswa. Dan ini merupakan bentuk kedermawanan seorang mahasiswa, mengerahkan segala kemampuannya dalam mermbantu korban bencana.
Berbagai macam cara yang bisa dilakukan untuk menjadi seorang relawan dalam membantu korban bencana. Dalam aksinya mahasiswa dapat terjun langsung ke jalan-jalan bergerak sebagai penggalang dana yang terorganisir, mendirikan posko-posko korban bencana, dan bisa langsung terjun ketempat lokasi bencana membantu dan melayani masyarakat yang terkena bencana.
Bentuk kedermawanan mahasiswa lainnya bisa di tunjukkan dan direalisasikan melalui pemanfaatan media teknologi yang ada. Banyaknya jejaring sosial seperti; friendster, facebook, twitter, multiplay, blog, dsb. Yang bisa dimanfaatkan sebagai ajang/ aksi pengumpulan dana dalam dunia maya yang hasilnya pun tidak kalah dengan cara yang biasa dilakukan. Bukti nyata pemanfaatan teknologi (Social Networking), kita dapat melihat kasus yang dialami oleh prita mulyasari yang berseteru dengan RS Omni Internasional terkait tentang curahan hatinya terhadap pelayanan yang diberikan yang dianggap sebagai pencemaran nama baik (korban kedhzaliman Sistem), dan luar biasa sekali dukungan dari masyarakat baik berupa moril maupun dana, yang dicurahkan melalui jejaring sosial. Ini meupakan masalah personal yang dialami seorang prita mulyasari, apalagi untuk korban bencana alam yang menyangkut banyak korban jiwa, tidak mustahil mendapatkan hasil yang besar untuk membantu saudara-saudara kita yang terkena bencana.

Minggu, 25 Juli 2010

BANGKIT...!!!


BANGKIT
Bangkit itu tinggi...
Tinggi akan cita-cita...

Bangkit itu optimis...

Optimis akan masa depan...

Bangkit itu keras...

Keras akan perjuangan...

Bangkit itu Smangat...

Semangat yang berkobar-kobar...

Bangkit itu bangun...

Bangun dari keterpurukan diri...
Bangkit itu lari... Lari dari keburujan yang ada... Bangkit itu mencuri... Mencuri peluang yang ada... Bangkit itu tidak ada... Tidak ada kata menyerah...

Change Our Life for A better Future...!!!
Never Give UP.


akrie_style@yahoo.co.id